Jumat, 04 Desember 2009



PENTINGNYA EFISIENSI USAHA TERNAK UNGGAS UNTUK MENINGKATKAN EKONOMI DI BIDANG PETERNAKAN 




       Dalam milenium ketiga ini, Propinsi Bengkulu menghadapi tantangan yang besar. Mau tidak mau, siap tidak siap kita harus memasuki era persaingan bebas atau era perdagangan bebas. Peristiwa penting lainnya adalah diberlakukannya otonomi daerah yang dituangkan dalam UU No. 22/1999 sejak Januari 2001.
Kedua hal tersebut harus diintegrasikan sedemikian rupa, sehingga sebagian besar tantangan, ancaman dan kendala dalam mempersiapkan diri menghadapi tatanan dunia yang berubah begitu cepat dapat diatasi dengan tepat. Hal ini memerlukan suatu usaha untuk mengoptimalisasikan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) di suatu daerah. Kualitas SDM yang tinggi merupakan aktor utama dalam pembangunan daerah di era otonomi daerah dan era pasar bebas.
Oleh sebab itu, dunia peternakan pun mau tidak mau harus pula membenahi diri, agar mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional. Salah satu upaya yang harus segera dibenahi adalah peningkatan kualitas produk setara internasional serta harga produk yang juga mampu bersaing.
Namun, dewasa ini peternakan unggas di Indonesia, Khususnya di Propinsi Bengkulu dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang harus segera diatasi, agar supaya mampu bersaing di era pasar bebas dan era otonomi daerah. Salah satu masalah yang sangat mendasar adalah rendahnya efisiensi usaha dan rendahnya kualitas produk ternak unggas. Rendahnya efisiensi usaha ini berakibat langsung kepada rendahnya keuntungan peternak serta tingginya harga produk unggas. Kondisi ini akan berakibat kepada produk ternak tidak mampu bersaing di pasar bebas. Selain itu, meskipun harga sudah bersaing, tetapi jika kualitas produk tidak baik, juga akan berakibat produk unggas akan tidak mampu bersaing. Oleh sebab itu, efisiensi usaha dan kualitas produk unggas merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Beberapa upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi usaha dan kualitas produk unggas.
Substitusi Bahan Pakan
Ongkos produksin yang berasal dari pakan merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 50-80% dari total biaya produksi tergantung kepada jenis unggas yang dipeliharanya dan efesiensi manajemennya. Oleh karena itu banyak usaha yang dilakukan untuk mendapatkan pakan yang murah tanpa mengurangi nilai gizi, tidak bersaing dengan manusia dan cukup tersedia. Sumber alam berupa bahan baku pakan baik jenis maupun jumlahnya cukup besar, namun usaha ke arah pemanfaatannya masih mengalami banyak hambatan. Sampai sekarang ini pabrik pakan memakai bahan baku utama jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Sebetulnya sudah ada usaha penggantian bahan pakan utama tersebut oleh pabrik pakan, namun ternyata harga pakan tidak juga turun. Ini berarti ada faktor dominan lain yang perlu diidentifikasi. Thailand juga miskin akan sumber daya, sehingga negara tersebut harus impor bahan pakan dan DOC. Namun demikian, negara tersebut mampu menjadi pengekspor daging ayam sejak puluhan tahun yang lalu. Demikian pula halnya dengan negara-negara pengekspor lainnya, mereka miskin akan sumber daya pendukung, namun mereka mampu eksis dan mampu menembus pasar internasional.
Namun demikian, bukan berarti peningkatan bahan baku utama atau penggantian bahan baku utama tersebut kemudian ditinggalkan. Peternak kecil, dapat menyusun pakannya dengan menggunakan bahan pakan yang banyak tersedia di daerahnya. Memang saat ini banyak peternak yang telah memodofikasi pakannya dengan mencampur konsentrat pabrik dengan jagung dan dedak. Sebenarnya telah banyak penelitian di bidang nutrisi dan makanan ternak yang dapat diaplikasikan baik pada pabrik pakan ternak maupun ditingkat masyarakat peternak. Banyak hasil penelitian yang tertumpuk saja di perpustakaan.
Kurang beresnya tatalaksana pemberian pakan juga merupakan salah satu jalan peternak kehilangan uang yang diinvestasikan. Kesalahan itu bisa berupa tercecernya pakan karena desain tempat pakan yang kurang baik atau pada saat penimbangan dan pemberian pakan ke unggas atau karena mengisi tempat pakan yang berlebihan. Juga perlu diperhatikan sistem pemberian pakannya. Pemberian pakan untuk beberapa unggas dapat dibatasi sebatas kebutuhan bahan kering dan gizinya. Pembatasan dapat dilakukan secara kualitatif yaitu dengan penurunan kandungan protein atau energi pakan, dan kuantitatif yaitu pembatasan waktu makan secara periodik. Cara ini dapat dilakukan pada saat ayam dara bagi ayam petelur, atau pada broiler di awal pertumbuhan. Pembatasan pakan ini dapat mengurangi terbuangnya pakan dan memperbaiki efisiensi penggunaan energi dan zat-zat gizi lainnya. Sistem pemberian pakan yang lain adalah hand feeding (pemberian sejumlah pakan tertentu dalam frekwensi tertentu dalam sehari) dan self feeding (pemberian cara ini memungkinkan unggas tersebut dapat mengambil makanan setiap saat).
Selain peningkatan efisiensi manajemen, maka perlu dilakukan upaya penjajagan kemungkinan pengalihan jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Bahan-bahan tersebut dapat berupa limbah industri atau limbah pertanian atau bahan-bahan yang tidak bersaing dengan manusia. Hal ini memang memerlukan proses yang cukup lama dan berkaitan erat dengan beberapa pihak yang tidak mau dirugikan. Beberapa pendekatan perlu dilakukan. Juga dituntut kejujuran pihak pabrik pakan ternak. Jika mereka telah menggunakan bahan yang lebih murah, maka diharapkan mereka mau menurunkan harga pakannya.
Ada dua aspek dalam hal penekanan biaya pakan, yaitu aspek teknologi dan tataniaga. Dalam aspek teknologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa standar kebutuhan gizi yang sekarang dianut masih dapat diturunkan. Aspek tataniaga pakan ternak juga memegang peranan penting. Masalah tataniaga bahan baku pakan ternak misalnya, penyempurnaan akan mempunyai arti yang besar. Usaha kearah itu sudah dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan diserahkannya kembali pembelian jagung dan tepung ikan oleh BULOG kepada pihak swasta, artinya swasta bisa membelinya langsung dari pasar luar negeri. Namun sejauh mana hal ini dapat menekan biaya pakan masih belum diketahui.
Peningkatan Mutu Produk
Seringnya terjadi permasalahan yang dihadapi oleh peternak, perusahaan pakan, maupun pembibitan, ditinjau secara global dari aspek pengembangan industri, maka kemungkinan yang menjadi permasalannya yaitu akibat kondisi struktur industri yang belum berkembang secara seimbang. Artinya yang baru berkembang adalah sektor industri proses produsen dan sarana produksi, sedangkan sektor industri pasca produksi belum mengalami perkembangan yang berarti.
Berkembangnya industri pasca produksi merupakan salah satu pengendali dan strabilitas harga hasil unggas, dan dapat sebagai sektor pengaman hasil unggas sehubungan bahwa hasil unggas termasuk produk yang mudah dan cepat rusak. Disamping itu, juga diketahui bahwa sektor tersebut dapat sebagai sektor peringkat nilai tambah produk unggas.
Pengelolaan pasca panen sangat penting untuk menjaga mutu produk unggas. Penanganan yang kurang tepat akan menghasilkan kerugian yang besar. Produk unggas seperti telur, penanganan pasca produksinya masih kurang diperhatikan. Menurunnya mutu telur dipengaruhi oleh waktu dan kondisi penyimpanan. Manajemen pasca produksi daging juga masih belum memadai, disamping mutunya tersebut disesuaikan dengan standard internasional. Ayam potong belum adanya keseragaman berat ayam yang dipasarkan, disamping belum ketatnya permintaan akan mutu karena konsumen pada umumnya belum memperhatikan mutu secara serius melainkan hanya didasarkan harganya yang murah. Pengelolaan produk-produk unggas menjadi produk olahan juga merupakan alternatif pengembangan industri pasca panen.
Kini sudah saatnya – jika tidak mau dianggap terlambat – dunia peternakan mengembangkan industri pasca produksi untuk menstabilkan harga, disamping adanya usaha peningkatan mutu dan merebut pasar dan efisiensi usaha.
Peningkatan Produktivitas Ternak
Sebagaian besar peternakan unggas merupakan peternak kecil. Peternakan rakyat tersebut pada umumnya mempunyai ciri-ciri berupa rendahnya tingkat keterampilan, kecilnya modal usaha, belum digunakannya bibit unggul – terutama pada peternakan ayam buras – dan belum sempurnanya cara penggunaan pakan sehingga produksinya rendah. Hasil produksi yang berasal dari peternak masih di bawah hasil produksi dari perusahaan.
Bagi peternak rakyat ada tiga masalah umum yaitu rendahnya produksi, produktivitas dan mutu hasil unggas.
Kebijakan impor bibit baik ayam ras sering mendapat kritik dari pihak lain yang berpendapat bahwa jika kita impor terus, maka ketergantungan terhadap bibit impor akan terus berlangsung. Akibat dari kebijakan ini, maka ketahanan peternakan di Indonesia sangat riskan. Hal ini terbukti ketika Indonesia dilanda krisis. Namun, disisi lain untuk mendapatkan strain baru itu memerlukan penelitian jangka panjang dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kita dapat mencontoh thailand yang meskipun bibit dan pakan harus impor, namun ternyata negara tersebut mampu eksis sebagai pengekspor produk ayam sejak puluhan tahun yang allu. Jadi yang penting adalah bagaimana membuat kebijakan yang mampu memberikan peluang usaha peternakan untuk berkembang dan maju.
Selain perbaikan faktor genetik, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor pakan dan manajemen serta tatalaksana pemeliharaan. Meskipun secara genetik unggas tersebut mempunyai potensi produksi yang tinggi, namun jika faktor-faktor lain yang mempengaruhi produktivitas kurang diperhatikan, maka potensi yang tinggi itu tidak akan tercermin di lapangan. Peternak unggas, khususnya di Propinsi Bengkulu, belum menerapkan manajemen usaha yang baik. Salah satu indikasinya adalah tidak adanya catatan usaha yang baik. Penerapan catatan usaha sangat berguna bagi peningkatan efisiensi usaha.
Pembinaan Sumber Daya Manusia
Menurut Sondakh (2000) pelaksanaan otonomi daerah dapat menimbulkan dampak positif atau negatif terhadap peluang ekonomi/pembangunan. Peluang ekonomi yang timbul karena otonomi daerah hanya akan efektif dimanfaatkan jika demokratisasi daerah berjalan paralel dengan otonomisasi, dan perekonomian rakyat diberdayakan untuk menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Di bidang pertanian (termasuk peternakan) pemberdayaan dilakukan dengan merestrukturisasi sistem industri pertanian menjadi sistem agribisnis agar proses agroindustrialisasi dengan ”value added” yang tinggi dapat menjadi kenyataan. Tanpa itu, otonomisasi akan melahirkan ”raja-raja lokal” dan ”desentralisasi korupsi” ke daerah.
Menurut Gany (2000) bahwa format penyelenggaraan pembangunan pertanian (termasuk peternakan-red) di Indonesia yang optimal dalam era otonomi daerah adalah format yang berbasis pada ”kemandirian lokal” yang mengakui dan memahami sepenuhnya kemajemukan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk masyarakat petani dan usahataninya. Untuk merealisasikan hal tersebut maka perlu dipersiapkan dan dilaksanakan antara lain, (1) pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap niat baik dan kemampuan pemerintah, yang harus tampil sebagai prime mover dalam merancang, merumuskan berbagai kebijakan yang memihak kepada petani, (2) menyiapkan pengembangan SDM pertanian (termasuk peternakan-red) yang sesuai dengan fungsi yang akan diperankan, (3) reformulasi berbagai perangkat kelembagaan yang sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat yang sangat majemuk, sehingga semua unsur terjamin hak-hak dan kompetensinya untuk berperan secara fungsional tanpa kehilangan identitas masing-masing, (4) menyiapkan kelembagaan dialog pada berbagai tingkat tatanan, sebagai media penyaluran aspirasi dan media untuk menciptakan konfigurasi pembangunan pertanian yang sinergis.
Disini dapat disimpulkan bahwa aktor utama dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah SDM. SDM yang berkualitas baik – dalam arti daya pikir, keahlian, wawasan, ketrampilan dan bermoral tinggi – akan mampu mengaktualisasikan otonomi daerah ke arah pembangunan daerah seperti yang diharapkan. Pemda perlu mengoptimalkan SDM yang ada di daerahnya bagi pembangunannya daerahnya termasuk SDM yang ada di perguruan tinggi. Moto yang barangkali ada antara lain seperti ”Project Oriented” perlu diganti dengan pencanangan moto ”Kami siap melayani anda” yang memang keluar dari kesadaran secara institusi bukan dari beberapa individu saja. Pembinaan SDM di lingkungan Pemda (c.q. Dinas Peternakan atau Subdin Peternakan) dapat meliputi antara lain:
a. Pendidikan moral
b. Perubahan sistem birokrasi untuk memperkecil KKN
c. Penerapan ”Reward and Punishment System” bagi semua orang
d. Penerapan hukum yang berkeadilan
e. Membangun konsistensi dan keseragaman komitment
f. Menbentuk “team work” yang baik
g. Pembinaan “on job training” dan “cross job”
Membentuk Koperasi Mandiri
Pada masa yang akan datang tujuan pembangunan peternakan unggas bukan hanya untuk meningkatkan permintaan dengan cara menciptakan pasar dan daya beli. Akan tetapi tujuan akhirnya adalah meningkatkan pendapatan peternak dan mendorong peternak agar tetap mampu bersaing baik pada skala lokal, regional, nasional maupun internasional.
Pengelolaan unggas yang jumlahnya kecil kurang efisien jika dibandingkan dengan dalam skala besar. Disamping itu pengelolaan oleh peternak kecil masih dirasa kurang efisien dan efektif, sehingga menghambat kemajuan peternakan unggas. Akan lebih baik jika peternak kecil melakukan penggabungan usaha dalam koperasi yang mandiri. Dengan koperasi yang mandiri ini mereka dapat melakukan tawar-menawar dalam penentuan harga produknya. Pembentukan koperasi mandiri ini sangat mendesak, karena menghadapi era pasar bebas segala proteksi akan dihapuskan sehingga mau tidak mau peternak harus bersaing tidak hanya dengan pengusaha besar dalam negeri tetapi juga dengan pengusaha luar negeri. Pencabutan proteksi tersebut telah dialami oleh peternak susu. Meskipun demikian, krisis ekonomi dimana nilai rupiah menurun drastis dibandingkan dengan dolar Amerika mampu menyelamatkan peternak susu dari kebangkrutan. Cara lainnya adalah membentuk kemitraan dengan pengusaha besar.
Koperasi perlu membentuk usaha yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Mulai dari pembibitan, pakan, obat-obatan samapi budidaya dan pemasaran dilakukan oleh koperasi.hal ini untuk membangun ketahanan yang kuat dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Untuk membangun ketahanan yang kuat diperlukan perangkat organisasi yang kuat, mempunyai visi misi dan pengalaman usaha dan berkoperasi yang memadai (Al-Bachry , 2000). Hal ini sangat penting bagi kepentingan bersama para anggota koperasi seperti kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup mereka. Strategi ini juga dilakukan agar koperasi mempunyai ”bargaining pasition” dan ”bargaining power”yang kuat. Penggabungan koperasi secara nasional dapat memperkuat koperasi menjadi suatu lembaga yang mandiri (Hermawan, 1999). Untuk mencapai koperasi mandiri, koperasi mandiri beserta anggotanya harus mempunyai jiwa kewirausahaan yang tangguh (Pambudy, 2000).
Selain itu koperasi dapat pula mengembangkan pola kemitraan. Kemitraan – dengan segala kelebihan dan kekurangannya – pada kenyataannya telah mampu memberikan kesempatan berusaha, meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan iklim usaha yang mendorong pengembangan peternakan di Indonesia. Walau bagaimanapun juga posisi peternak kecil akan sangat terjepit jika mereka tidak melakukan kemitraan atau tidak bergabung membentuk kelompok usaha mandiri. Kerjasama yang baik ini akan mampu menghadapi era pasar bebas.
Kedua jenis kelompok usaha (peternak kecil dan pengusaha besar) akan mampu mendorong kepada ketahanan ekonomi di era pasar bebas. Visi pembangunan di masa yang akan datang harus benar-benar bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat. Telah terbukti bahwa perekonomian yang bertumpu kepada pengusaha besar ternyata merupakan tatanan perekonomian yang rapuh (Sutawi, 1999). Untuk mengaktualisasikan perekonomian di bidang peternakan yang kuat, maka diperlukan sistem agribisnis peternakan yang mempunyai daya saing yang tinggi dalam menghadapi pasar baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Saragih (2000) menyatakan bahwa untuk membangun sistem agribisnis peternakan berdaya saing diperlukan dua hal pokok yaitu mampu menghasilkan atribut sesuai dengan keinginan konsumen dan harus mampu merespon perubahan pasar yang cepat dan efisien. Pengelolaan terintegrasi belum menjamin tercapainya daya saing, perlu didukung oleh ”team work” yang harmonis. Untuk membangun ”team work” yang baik diperlukan waktu yang lama. Penyelenggaraan ”on job training” tidaklah cukup sehingga diperlukan pembinaan wawasan secara ”cross job”.
Ini semua memerlukan pengembangan SDM yang mandiri dan tangguh, yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mengambil keputusan usaha ternyata secara lebih kritis, meningkatkan efisiensi penempatan sumber daya pembangunan yang dimilikinya dan meningkatkan produktivitas sumber daya manusianya. Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam pembangunan petenakan di pedesaan adalah masih rendahnya mutu SDM (Rasahan,1996). Oleh karena itu, pemberdayaan SDM peternakan di Indonesia pada dasarnya adalah segala upaya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu SDM yang terlibat dalam pembangunan peternakan. Fokus utama dalam peningkatan mutu SDM peternakan diarahkan kepada (1) peningkatan mutu penguasaan IPTEKS peternakan; dan (2) penguasaan mutu ketrampilan disertai dengan pembinaan semangat kerja, disiplin dan sifat-sifat profesionalisme. Selain pembinaan SDM, maka koperasi harus memanfaatkan sistem manajemennya.
Selain hal-hal tersebut di atas, maka pemberdayaan dalam pengelolaan SDA, pemberdayaan dan pengembangan penelitian dan penerapan IPTEKS peternakan, pemberdayaan kelembagaan peternakan perlu dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan dunia peternakan.
Terakhir kiranya perlu kita menengok kembali kepada visi pembangunan peternakan yang telah dicanangkan sejak tahun 1967. di tahun ini lahirlah UU No. 6 tahun 1967 tentang ”Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam undang-undang tersebut tersirat tentang visi pembangunan peternakan nasional yaitu ”terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal”. Untuk itu perlu diciptakan landasan yang kokoh dengan cara antara lain adanya iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri sarana produksi (pakan, bibit, obat-obatan), adanya kebijakan (undang-undang, peraturan-peraturan) yang mampu mengakomodasikan kepentingan semuapelaku di bidang peternakan, adanya institusi pemasaran yang dapat berperan mendorong meningkatnya daya serap konsumen terhadap hasil-hasil peternakan. Dalam mewujudkan visi tersebut, kita harus berpikir dan bertindak dalam kerangka industri.
Isu lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tuntutan masyarakat yang menginginkan kegiatan peternakan dapat menekan sekecil mungkin polusi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, usaha peternakan dituntut untuk menciptakan usaha yang ”ramah lingkungan”. Juga, perunggasan dunia dihadapkan kepada isu ”animal welfare” (kesejahteraan hewan) yang juga dapat mempengaruhi efisiensi usaha. Kiranya hal ini juga perlu mendapat perhatian pengusaha unggas jika ingin berkiprah di pasar global.

Ekonomi Indonesia dan Pengaruh Global

 

            Perkembangan ekonomi global pasti akan mempengaruhi kondisi ekonomi di Indonesia, apalagi perekonomian Indonesia bersifat terbuka.

Perekonomian Indonesia terbuka dari sisi neraca pembayaran mulai dari perdagangan, arus modal masuk dan keluar (capital inflow atau outflow), dan kegiatan pemerintah melalui penarikan dan pembayaran utang luar negeri.

"Sebagai negara kecil dan terbuka dalam kancah ekonomi global, yang bisa dilakukan Indonesia adalah memperkuat pondasi ekonomi dan memperbesar fleksibilitas. Ekonominya harus fleksibel," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Berbagai keputusan harus bisa disesuaikan atau diubah secepatnya ketika memang harus diubah dalam kondisi perekonomian yang overheating (kepanasan).

"Jangan kaku di mana kalau sudah ambil keputusan tidak bisa berubah. Di sisi lain APBN juga harus sehat demikian juga perbankan juga harus sehat," katanya.

Ia menjelaskan, dalam beberapa kurun waktu perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Cina telah menjadi dua mesin ekonomi utama di dunia. Kemudian perekonomian di beberapa kawasan seperti India, Jepang, dan Eropa juga kembali menggeliat.

Sudah sejak 2003 hingga 2004, berbagai kalangan melihat bahwa perekonomian AS sebagai lokomotif perekonomian dunia sudah tidak sustainabel karena perekonomian AS selalu mengalami defisit.

Namun karena pemerintahannya tidak ingin mewariskan kondisi ekonomi dalam kondisi jelek maka mereka banyak menetapkan policy agar momentum pertumbuhan ekonominya tetap tinggi seperti melakukan pemotongan pajak besar-besaran.

"Tapi orang melihat itu adalah policy jangka pendek yang sebenarnya tidak berimplikasi baik dalam jangka panjang dan AS tetap mengalami defisit bahkan defisit kembar yaitu pada APBN-nya dan pada neraca pembayarannya," jelas Sri Mulyani.

Dalam beberapa kurun waktu, defisit AS itu tidak menjadi masalah karena dapat dikatakan hampir seluruh dunia membiayai defisit AS dengan cara membeli surat utang yang dikeluarkan AS atau menyimpannya dalam cadangan devisa.

Cadangan devisa Cina dalam bentuk dolar AS saat ini sangat besar hingga mencapai di atas 1 triliun dolar AS. Demikian juga dengan negara-negara lain, cadangan devisanya meningkat cukup drastis seperti India yang saat ini di atas 80 miliar dolar AS.

"Dari sisi produksi dan perdagangan sebenarnya AS kalah dengan Cina tetapi dari sisi capital inflow ke AS, pasar AS sangat besar di mana semua negara memiliki andil di pasar AS," jelas Sri Mulyani.

Namun sekali lagi banyak kalangan menilai bahwa kondisi pasar modal dan pasar uang di AS yang tidak didukung dengan produksi dan perdagangan, tidak akan sustainable lagi dalam jangka panjang.

"Makanya ketika New York Stok Exchange (NYSE) dianggap kurang atraktif dibanding London, maka pejabat di AS mereview berbagai kebijakannya karena dianggap akan mempengaruhi defisit neraca pembayarannya," kata Sri Mulyani.


Akan terus me-review kebijakan

Menurut dia, pihak AS maupun pelaku ekonomi besar lainnya akan terus-menerus mereview berbagai kebijakannya atas kondisi yang berkembang sehingga perekonomiannya tetap terjaga.

"Waktu itu Menteri Keuangan seluruh dunia menyatakan bahwa perubahan itu merupakan suatu keharusan. Yang jadi soal adalah apakah perubahan itu soft landing, hard landing, atau crash landing," jelasnya.

Menurut dia, Indonesia pernah terkena dampak perubahan situasi global secara drastis di mana Indonesia harus melakukan devaluasi mata uangnya pada tahun 1983 dan tahun 1986.

"Meskipun perubahan situasi global dalam 1 hingga 2 tahun ke depan diyakini akan terjadi soft landing, tetapi kita tetap akan terus mewaspadai perubahan yang terjadi," katanya.

Menkeu mencontohkan perubahan kebijakan di Cina sebagai respon atas kebijakan AS beberapa waktu lalu telah berdampak kepada kurs Rupiah maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Pada akhir Februari 2007 lalu IHSG BEJ dan kura rupiah mengalami kemerosotan cukup signifikan. IHSG BEJ pada Selasa (27/2) turun 19,943 poin (1,12 persen) menjadi 1.764,008. Pada Rabu siang IHSG turun lagi 57,500 poin menjadi 1.706,508.

Sementara nilai tukar Rupiah pada Rabu pagi (28/2) turun tajam hingga menjadi Rp9.185/9.190 per dolar AS dibanding penutupan sebelumnya yaitu Rp9.070/9.092 atau melemah 115 poin.


Tidak Khawatir

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan turunnya IHSG BEJ itu karena faktor fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik.

"Faktor-faktor fundamental dalam negeri yang berhubungan dengan korporasi dan pasar modal rasanya tidak ada yang mendorong penurunan IHSG. Karena itu kita tidak terlalu khawatir," katanya.

Menurut dia, perbaikan terhadap kondisi pasar modal maupun kondisi korporasi akan terus dilakukan, namun ia menilai tidak ada faktor dalam negeri yang secara signifikan mendorong adanya penurunan IHSG.

Ia menyatakan, penurunan IHSG di BEJ yang terjadi saat itu karena sentimen regional yang sedang terjadi dan Indonesia menerima dampaknya.

"Kalau turun karena dampak itu ya nggak apa-apa. Meski demikian kita akan terus mewaspadai," kata Sri Mulyani.

Senada dengan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Boediono menyatakan turunnya IHSG dan nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir merupakan dampak regional terkait apa yang terjadi di Cina.

"Itu gerakan di seluruh dunia. Itu karena kemarin Cina anjlok cukup besar hingga 10 persen, demikian juga dengan Hong Kong. Kalau Hong Kong jelas karena ekornya Cina," kata Boediono.

Menurut Boediono, semua negara terkena dampak dari apa yang terjadi di Cina, namun apa yang terjadi di Indonesia masih dalam batas-batas yang terkendali.

"Jadi tidak ada yang salah di sini, kita tetap pada kebijakan yang telah kita tetapkan dan sampai saat ini cukup baik," katanya.

Ia mengharapkan, dampak global itu hanya akan sementara saja sehingga tidak akan berdampak buruk kepada perekonomian nasional secara keseluruhan.

Kamis, 26 November 2009

Pembangunan Ekonomi berbasis Pertanian

a.Sektor Hulu Pertanian 


                 Saudara-saudara semua permasalahan di sektor hulu pertanian yang perlu untuk kita pecahkan ialah masalah kepemilikan lahan. Pada tahun 2006 kepemilikan lahan pertanian  di Indonesia sekitar 0,25 hektar (Martoyo, 2006),  jika kondisinya seperti ini terus petani kita akan sulit untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, agenda utama dalam membenahi sektor hulu ialah mengembangkan lahan-lahan pertanian di luar pulau Jawa untuk memenuhi amanat reforma agraria yang hingga saat ini masih sulit dilakukan.
Dalam proses pengembangan lahan diluar pulau Jawa,  faktor utama yang sangat berpengaruh adalah permasalahan infrastruktur, khususnya transportasi, salah satu contoh adalah membawa sapi dari Darwin, Australia, ke Jakarta 85 persen lebih murah dibandingkan dengan jika membawa sapi dari Bima, Nusa Tenggara Barat, ke Jakarta (Martoyo, 2006). Oleh karena itu, salah satu agenda yang akan dijalani ialah pengawasan dengan baik terhadap pemanfaatan dana stimulus sebesar 7 triliun yang dikucurkan pemerintah untuk sektor infrastruktur.
Selain permasalahan lahan, masalah lainnya  ialah masalah produktivitas,  salah satu contoh ialah ubi kayu,  di Thailand produksi total ubi kayu mencapai 2 kali lipat dari produksi Indonesia. Permasalahan produktivitas ini terletak setidaknya pada 3 hal:
  • Bibit,  kita sudah pernah mendengar mengenai bibit unggul  berbagai tanaman yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kita seperti IPB , namun hingga saat ini itikad pemerintah untuk mengeluarkan bibit-bibit itu dari kampus untuk kemudian diaplikasikan ke masyarakat masih minim.
  • Pupuk, pada tulisan sebelumnya saya telah mengeluarkan solusi terhadap permasalahan pupuk berupa pembangunan pabrik NPK
  • Manajemen dan perawatan, salah satu tantangan krusial adalah masalah mentalitas bangsa kita yang bermental tidak ingin sulit (instan), salah satu contoh kasusnya ialah pengembangan tanaman organik, berapa banyak petani kita yang belum beralih ke pola pertanian ini dengan alasan bahwa pertanian organik lebih melelahkan karena memerlukan pembuatan pupuk kompos dan perawatan yang lebih intensif, padahal pasar ekspor pertanian khususnya di Eropa lebih menghendaki produk organik.

b.Peningkatan Nilai Tambah Produk Pertanian


        Permasalahan lainnya, ialah minimnya teknologi pasca panen dan industri hilir di bidang pertanian yang dapat meningkatkan nilai tambah produk pangan kita, terdapat beberapa contoh  produk yang dapat dikembangkan dan akan menjadi komitmen kami kedepannya untuk memperluas aktivitas ekonomi berbasis pertanian ini.

 

 PENYEBAB MEROSOT NYA UKM DI INDONESIA


           Perlu disadari, bahwa pada saat ini UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi upaya mengembangkan UKM di bidang Kerajinan Handicraft tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Karena konsep pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk “aturan Main” bagi pelaku usaha termasuk UKM dibidang Kerajinan Handicraft. Karena itu, upaya pembangunan UKM dibidang Barang Kerajinan tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melaikan harus integrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Masalah Inti UKM Dibidang Handicraft atau Barang Kerajinan :
  1. Keterbatasan akses pasar (mampu berproduksi tapi tidak mempunyai akses pasar)
  2. Kemudahan perizinan (Deregulasi Perizinan)
  3. Lemahnya sumber daya manusia (lemahnya SDM menyebabkan kualitas produksi rendah)
  4. Minimnya modal kerja yang mengakibatkan jumlah produksi yang terbatas
Salah satu penyebab lemahnya daya saing UKM (Usaha Kecil Menengah) dibidang Handicraft Design terhadap pasar adalah kurangnya perlindungan dari pemalsuan dan pembajakan produk oleh pihak lain. Oleh karenanya hak merk merupakan senjata ampuh bagi UKM dibidang Handicraft Design untuk mengatasi hal tersebut. Menyatakan hak merk menjadi hal yang sangat penting dalam usaha meraih pasar dan menimbulkan rasa aman bagi UKM dibidang Design Handicraft dalam mengelola usaha pada era perdagangan bebas saat ini.
Selain itu tidak dipungkiri, selama ini kendala utama sulit berkembangnya UKM dibidang Design Handicraft adalah minimnya modal kerja. Hal ini berakibat pada permasalahan yang berputar-putar yang terkait antara satu dengan lainnya. Dengan tidak adanya cukup modal, pengusaha kecil di dibidang Souvenir Handicraft tidak dapat memperbesar skala usahanya.Muara semua ini adalah kurangnya kemampuan untuk bersaing di pasar internasional. Tidak kalah pentingnya adalah promosi dan pemasaran Souvenir Handicraft agar produk dapat berkembang dan dikenal masyarakat.

Ada tiga target yang harus dicapai dalam pembenahan internal UK dibidang Design Kerajinan:
  1. Meningkatkan produktivitas sehingga UKM dibidang Design Kerajinan memiliki daya saing tinggi, dan meningkatkan akses UKM pada kembaga jasa keuangan.
  2. Peningkatan produktivitas UKM dibidang Kerajinan Barang Bekas (terutama usaha kecil) sangat penting, sebab bila ini tidak dilakukan dikhawatirkan memperlebar kesenjangan antara golongan UKM dan usaha besar.
  3. Memperluas jaringan promosi dan pemasaran.
Keberhasilan sektor UKM dibidang Kerajinan Barang Bekas berkompetisi secara sehat dipasar internasional merupakan indikasi bahwa sektor UKM dibidang Handicraft Design Souvenir dalam negeri sudah memiliki basis daya saing yang tinggi. Dinamika sehatnya UKM dibidang Handicraft Design Souvenir didalam negeri pada akhirnya akan memberikan insentif bagi usaha besar untuk terkena imbasnya secara postif.
Beberapa langkah untuk meningkatkan daya saing UKM, diantaranya :
  1. Menyusun skala prioritas jenis UKM dibidang Handicraft yang potensial dikembangkan pada setiap daerah.
  2. Memetakan pasar masing-masing jenis komoditas/produk yang akan dikembangkan.
    Pemetaan harus komprehensif, baik harga mupun volume, mulai pasar lokal, regional, nasional hingga internasional.
  3. Pemerintah/Pemda, lembaga keuangan (bank atau non bank), asosiasi usaha, dan kelompok lainnya yang peduli terhadap pengembangan UKM dibidang Handicraft Barang Bekas bekerjasama dalam meningkatkan kinerja UKM tersebut.
    Kerjasama ini menyangkut peningkatan SDM (manajemen), tekhnologi, permodalan hingga pemasaran. Dengan melibatkan asosiasi usaha diharapkan mempu menjembatani dan mempererat kerjasama dibidang Handicraft Barang Bekas dan usaha besar, sehingga diharapkan ada alih pengetahuan dan alik tekhnologi dari usaha besar ke UKM dibidang Handicraft.

Rabu, 25 November 2009

''HAMBATAN PEMBANGUNAN''

        Tidak dapat dipungkiri saat ini, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pembangunan kita bangsa indonesia lambat berkembang adalah karena tidak berorientasi kepada akar kemampuan bangsa sendiri. Kita telah terkecoh oleh modernisasi sehingga tanpa terasa kita ikut-ikutan dengan negara yang sudah maju dengan tidak memperhitungkan akan kemampuan dari bangsa sendiri.
Setelah menyadari akan hal ini, maka artinya mari kita mulai membangun bangsa ini mulai dari bawah, bertahap dan bertahap. Jika itu kita lakukan, saya yakin masalah kemiskinan dapat kita atasi. Lalu jika pertanyaannya sektor apa yang seharusnya kita kembangkan saat ini, maka jawabannya tentu saja adalah sektor pertanian, yang merupakan basis ekonomi rakyat.
Lalu langkah apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tentu saja memperhatikan dengan cermat apa yang menjadi permasalahan utama dari para petani kita. Dibawah ini saya sempat mengutip beberapa yang perlu kita benahi yaitu:

1. Masih banyaknya petani kita yang menanam musiman. Artinya mereka kekurangan sumberdaya penting dalam bertani, yaitu air.

2. Mereka kurang memiliki keahlian dalam mengelola sawah, sehingga produktifitas belum optimal.

3. Para petani kita tidak mendapat akses mengenai kondisi pasar, atau mereka belum dapat mempergunakan sarana yang tersedia dengan baik untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Sehingga akibatnya kemudian, harga jual mereka selalu rendah karena dipermainkan oleh para tengkulak, yang disebabkan dari ketidaktahuannya dalam pendistribusian dan pemasaran produk. Lembaga pemerintah yang diberi kepercayaan untuk melakukan sebagian dari tugas ini yaitu BULOG ternyata juga belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
 
       Kita bersukur sekarang, sebab presiden SBY telah mencurahkan perhatian yang besar terhadap para petani kita diantaranya adalah pengupayaan bibit unggul, yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas pertanian kita. Disamping itu juga telah ada PNPM Mandiri (program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri) yang dapat membantu petani kita yang kesulitan dana. Hanya saja realita yang terjadi di masyarakat bahwa sebagian masyarakat kita belum siap untuk memanfaatkan dengan baik dari dana kucuran ini, sehingga yang diuntungkan hanyalah mereka yang mampu mengelola. Jadi saya harapkan penyaluran dana semacam ini juga perlu mendapat pengawasan yang baik.
"CIRI-CIRI NEGARA BERKEMBANG DI INDONESIA"



1. Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tinggi
    Tingkat pertambahan penduduk di negara berkembang umumnya lebih tinggi dua hingga empat kali lipat dari negara maju. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan dan budaya di negara berkembang yang berbeda dengan di negara maju. Hal tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah di masa depan yang berkaitan dengan makanan, rumah, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.

2. Tingkat Pengangguran Tinggi
    Akibat dari tingginya pertumbuhan penduduk mengakibatkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi tinggi. Jumlah tenaga kerja lebih banyak daripada kesempatan lapangan kerja yang tersedia dan tungkat pertumbuhan keduanya yang tidak seimbang dari waktu ke waktu.

3. Tingkat Produktivitas Rendah
    Jumlah faktor produksi yang terbatas yang tidak diimbangi dengan jumlah angkatan kerja mengakibatkan lemahnya daya beli sehingga sektor usaha mengalami kesulitan untuk meningkatkan produksinya.

4. Kualitas Hidup Rendah
   Akibat rendahnya tingkat penghasilan, masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dll. Banyak yang kekurangan gizi, tidak bisa baca tulis, rentan terkena penyakit, dan lain sebagainya.

5. Ketergantungan Pada Sektor Pertanian / Primer
    Umumnya masyakat adalah bermata pencaharian petani dengan ketergantungan yang tinggi akan hasil sektor pertanian.

6. Pasar & Informasi Tidak Sempurna
    Kondisi perekonomian negara berkembang kurang berkompetisi sehingga masih dikuasai oleh usaha monopoli, oligopoli, monopsoni dan oligopsoni. Informasi di pasar hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja

7. Tingkat Ketergantungan Pada Angkatan Kerja Tinggi
    Perbandingan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori angkatan kerja dengan penduduk non angkatan kerja di negara sedang berkembang nilainya berbeda dengan dengan di negara maju. Dengan demikian di negara maju penduduk yang berada dalam usia nonproduktif lebih banyak bergantung pada yang masuk angkatan kerja.

8. Ketergantungan Tinggi Pada Perekonomian Eksternal Yang Rentan
    Negara berkembang umumnya memiliki ketergantungan tinggi pada perekonomian luar negeri yang bersifat rentan akibat hanya mengandalkan ekspor komoditas primer yang tidak menentu.

Selasa, 17 November 2009

APEC

"APEC"

Latar Belakang Pembentukan APEC

Konperensi negara-negara kawasan Asia Pasifik yang dilaksanakan atas prakarsa Australia pada bulan November 1989 di Canberra merupakan forum antar pemerintah yang kemudian dikenal dengan nama “Asia Pacific Ekonomic Cooperation” atau disingkat APEC. Latar belakang berdirinya APEC ditandai dengan kebutuhan pembangunan ekonomi regional akibat globalisasi sistem perdagangan, dan adanya perubahan berbagai situasi politik dan ekonomi dunia sejak pertengahan tahun 1980-an
Kemajuan teknologi di bidang transportasi dan telekomunikasi semakin mendorong percepatan perdagangan global yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang cepat pada pasar uang, arus modal, dan meningkatnya kompetisi untuk memperoleh modal, tenaga kerja terampil, bahan baku, maupun pasar secara global. Globalisasi perdagangan ini mendorong meningkatnya kerja sama ekonomi di antara negara-negara seka-wasan seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang menerapkan sistem pasar tunggal untuk Eropa; North American Free Trade Area (NAFTA) di kawasan Amerika Utara; ASEAN Free Trade Area (AFTA) di kawasan Asia Tenggara; dan Closer Economic Relations (CER) yang merupakan kerja sama ekonomi antara Australia dan Selandia Baru.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada dekade 80-an juga ditandai oleh berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan diikuti dengan berkurangnya persaingan persen-jataan. Forum-forum internasional yang seringkali didominasi dengan pembahasan masalah pertahanan dan keamanan, mulai digantikan dengan pembahasan masalah-masalah ekonomi dan perdagang-an. Sejalan dengan perubahan tersebut, timbul pemikiran untuk mengalihkan dana yang semula digunakan untuk perlombaan senjata ke arah kegiatan yang dapat menunjang kerja sama ekonomi antar negara.

Kerja sama APEC dibentuk dengan pemikiran bahwa dinamika perkembangan Asia Pasifik menjadi semakin kompleks dan di antaranya diwarnai oleh perubahan besar pada pola perdagangan dan investasi, arus keuangan dan teknologi, serta perbedaan keunggulan komparatif, sehingga diperlukan konsultasi dan kerja sama intra-regional. Anggota ekonomi APEC memiliki keragam-an wilayah, kekayaan alam serta tingkat pembangunan ekonomi, sehingga pada tahun-tahun per-tama, kegiatan APEC difokuskan secara luas pada pertukaran pandangan (exchange of views) dan pelaksanaan proyek-proyek yang didasarkan pada inisiatif-inisiatif dan kesepakatan para anggotanya.

Tujuan Pendirian APEC

Pada Konperensi Tingkat Menteri (KTM) I APEC di Canberra tahun 1989, telah disepakati bahwa APEC merupakan forum konsultasi yang longgar tanpa memberikan “Mandatory Consequences” kepada para anggota-nya. Dari kesepakatan yang diperoleh dalam pertemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa APEC memiliki dua tujuan utama:

1. Mengupayakan terciptanya liberalisasi perdagangan dunia melalui pembentukan sistem perdagangan multilateral yang sesuai dengan kerangka GATT dalam rangka memajukan proses kerja sama ekonomi Asia Pasifik dan perampungan yang positif atas perundingan Putaran Uruguay.
2. Membangun kerja sama praktis dalam program-program kerja yang difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut penyelenggaraan kajian-kajian ekonomi, liberalisasi perdagangan, investasi, alih teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia.
Sesuai kepentingannya, APEC telah mengembangkan suatu forum yang lebih besar substansinya dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu membangun masyarakat Asia Pasifik dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang merata melalui kerja sama perdagangan dan ekonomi. Pada pertemuan informal yang pertama para pemimpin APEC di Blake Island, Seattle, Amerika Serikat tahun 1993, ditetapkan suatu visi mengenai masyarakat ekonomi Asia Pasifik yang didasarkan pada semangat keterbukaan dan kemitraan; usaha kerja sama untuk menyelesaikan tantangan-tantangan dari perubahan-perubahan; pertukaran barang, jasa, investasi secara bebas; pertumbuhan ekonomi dan standar hidup serta pendidikan yang lebih baik, serta pertumbuhan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Rangkaian Pertemuan Para Pemimpin APEC


Blake Island, 20 November 1993
Dengan tuan rumah Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, para Pemimpin APEC mengadakan Pertemuan Informal untuk pertama kalinya di Blake Island, Seattle, Washington. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa Visi APEC adalah :
- memanfaatkan kekuatan dari keberagaman ekonomi negara anggota;
- memperkuat kerja sama dalam rangka meningkatkan kemak-muran;
- membangun semangat keter-bukaan dan kemitraan yang mendalam;
- mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berkelanjutan;
- berperan serta dalam memper-kuat perekonomian dunia;
- mendorong terciptanya sistem perdagangan internasional yang terbuka;
- mengurangi hambatan perda-gangan dan investasi;
- memanfaatkan kemajuan di bidang telekomunikasi dan transportasi;
- melindungi kualitas udara, air, dan kawasan hijau;
- mengatur dan memperbaharui sumber-sumber energi untuk memberikan rasa aman pada masa yang akan datang.
Bogor, 15 November 1994
Pada Pertemuan Para Pemimpin APEC kedua ini yang menjadi pokok bahasan adalah arah ekonomi APEC pada 25 tahun mendatang. Dalam deklarasi mereka yang dikenal dengan “Declaration of Common Resolve” , Para Pemimpin ekonomi menyetujui untuk menentukan sasaran mengenai waktu perdagangan dan investasi bebas di wilayah APEC, yakni:
- tahun 2010 bagi anggota ekonomi maju (industrialized economies);
- tahun 2020 bagi anggota ekonomi yang sedang berkembang (developing economies).
Selanjutnya APEC akan memberikan kesempatan bagi anggota ekonomi yang sedang berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonominya secara berkesinam-bungan dan pembangunan yang merata dalam rangka menjaga kestabilan perekonomiannya.
Osaka, 19 November 1995
Pada pertemuan ketiga di Osaka, Jepang, Para Pemimpin APEC mulai menterjemahkan Visi Blake Island and Declaration of Common Resolve/ Bogor dalam suatu cetak biru untuk melaksanakan komitmen mereka atas perdagangan dan invesatsi yang bebas dan terbuka, fasilitasi bisnis, dan kerja sama ekonomi serta kerjasama tehnik antar anggota. Agenda pembahasan yang dikenal dengan Aksi Osaka terdiri dari dua bagian pokok yaitu:
- bagian pertama, menyangkut masalah liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan invesatsi,
- bagian kedua, menyangkut kerja sama ekonomi dan tehnik di bidang energi dan transportasi, infrastruktur, usaha kecil dan menengah, dan teknologi pertanian.
Untuk mewujudkan pelaksanaan Agenda Aksi Osaka ini telah ditetapkan Rekening Khusus untuk pembiayaan proyek-proyek yang mendukung agenda tersebut.
Manila, 25 November 1996
Pertemuan keempat Para Pemimpin APEC telah meng-hasilkan suatu rencana aksi yang dikenal dengan nama Manila Action Plan for APEC atau MAPA, di antaranya Rencana Aksi Individual (RAI) dan Rencana Aksi Kolektif (RAK). Dalam pertemuan ini dilaporkan kemajuan atas kegiatan bersama para anggota APEC untuk mencapai sasaran Deklarasi Bogor mengenai perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di wilayah APEC pada tahun 2010 dan 2020; serta kegiatan bersama di antara para anggota sesuai dengan bagian kedua dari Agenda Aksi Osaka. MAPA menyerukan enam thema untuk Aksi tersebut, yaitu :
- peningkatan akses pada pasar barang;
- peningkatan akses pada pasar jasa,
- sistem investasi yang terbuka,
- penurunan biaya usaha,
- sektor infrastruktur yang terbuka dan efisien,
- peningkatan kerja sama ekonomi dan teknik.
Dalam rangka kerja sama ekonomi dan tehnik ditetapkan enam bidang kerja sama, yaitu:
- pengembangan sumber daya manusia,
- pengembangan pasar modal yang aman dan efisien,
- upaya memperkuat infrastruktur ekonomi,
- pemanfaatan teknologi masa depan,
- peningkatan pertumbuhan yang berkesinambungan,
- pertumbuhan usaha kecil dan menengah.
Vancouver, November 1997
Dalam Pertemuan kelima Para Pemimpin APEC, Para Pemimpin menegaskan kembali komitmen dan keinginan mereka atas usaha untuk mengembangkan Rencana Aksi Individu (RAI) dan memperbaiki Rencana Aksi tersebut setiap tahun. Para Pemimpin APEC mengesahkan kesepakatan para menteri APEC yang menyatakan bahwa Aksi Individu tersebut akan dilaksanakan sejalan dengan liberalisasi sektoral sukarela yang dipercepat (Early Voluntary Sectoral Liberalization atau disingkat EVSL) pada 15 sektor dengan ketentuan akan diajukan pada tahun 1998, dan dilaksanakan mulai tahun 1999. Para Pemimpin APEC yakin bahwa partisipasi penuh dan aktif dari para anggota ekonomi dalam mendukung WTO merupakan kunci pokok bagi kemampuan APEC untuk melanjutkan dan memperkuat sistem perdagangan global. Para Pemimpin juga menyambut baik kemajuan forum-forum APEC dalam melibatkan dunia usaha, para akademisi dan ahli, kelompok wanita dan pemuda dalam kegiatan pada tahun 1997, serta mendorong mereka untuk melanjutkan usaha-usaha tersebut.
Kuala Lumpur, November 1998
Pertemuan keenam ini menitikberatkan pada strengthening the Foundation for Growth. Para Pemimpin APEC menegas-kan keyakinannya atas fundamental ekonomi yang kuat dan prospek pulihnya ekonomi Asia Pasifik. Mereka menyetujui untuk mengejar suatu strategi pertumbuhan secara bersama guna mengakhiri krisis keuangan. Mereka menjanjikan usaha-usaha memperkuat jaring pengaman sosial, sistem keuangan, arus perdagangan dan investasi, penerapan ilmu dan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, infrastruktur ekonomi, dan keterkaitan antara usaha dan perdagangan sehingga memberikan dasar dan penetapan langkah untuk menuju pertumbuh-an yang berkesinambungan pada abad 21. Pada Pertemuan tersebut disetujui pula mengenai Kuala Lumpur Action Program on Skills Development yang bertujuan untuk mendukung terciptanya pertumbuhan yang berkesinam-bungan serta merata, yaitu dengan mengurangi disparitas ekonomi dan mengembangkan kehidupan sosial masyarakat melalui pengembangan keahlian/kecakapan.
New Zealand, 12-13 September 1999
Fokus utama pertemuan ketujuh Para Pemimpin APEC adalah untuk merespon krisis keuangan Asia 1997, menanam-kan kembali kekuatan pertum-buhan dan investasi di wilayah APEC dengan mendorong liberali-sasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi, serta memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia. Pada per-temuan New Zealand ini ada tiga pokok thema yang dibahas, yaitu :
- liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi,
- usaha memperkuat pasar,
- upaya mengembangkan du-kungan terhadap APEC.
Brunei Darussalam, 15-16 November 2000
Pada tanggal 15-16 November 2000, Para Pemimpin APEC mengadakan pertemuan ke-8 di Bandar Seri Begawan. Ada 3 subtema yang dibahas pada pertemuan tersebut, yaitu : Building Stronger Foundations, Creating New Opportunities, dan Making APEC Matter More. Pembahasan tersebut menekan-kan pada kelanjutan usaha penguatan pasar, pemanfaatan revolusi teknologi, dan peningkatan hubungan dengan masyarakat APEC secara luas. Subtema-subtema tersebut dirancang untuk mengakomodasi 3 bidang yang merupakan prioritas utama bagi kegiatan APEC tahun 2000, yakni : Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Sumber Daya Manusia (SDM), dan Teknologi Informasi (TI).
(sartn/end)


 ARTIKEL EKONOMI PEMBANGUNAN

"EFEK /DAMPAK KRISIS EKONOMI DI INDONESIA"

DEFINISI

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.

Ciri globalisasi

  • Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi  regional dan lain-lain.
DAMPAK KRISIS DI INDONESIA :

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen..

 


artikel

EKONOMI PEMBANGUNAN

Suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut supaya negara-negara berkembang dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi.

PEMBANGUNAN EKONOMI

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya a t a u
Suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang.

Tujuan Analisis Ekonomi Pembangunan :

  1. Menelaah faktor-faktor yang menimbulkan ketiadaan pembangunan.
  2. Menelaah faktor-faktor yang menimbulkan keterlambatan pembangunan.
  3. Mengemukakan cara-cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah- masalah yang dihadapi sehingga mempercepat jalannya pembangunan.
Bidang-bidang penting yang dianalisis dalam Ekonomi Pembangunan :

1. Masalah pembentukan modal (investasi)

2. Masalah perdagangan luar negeri (Ekspor & Impor)
3. Masalah pengerahan tabungan (Saving)
4. Masalah bantuan luar negeri
5. Masalah dalam sektor pertanian atau industri
6. Masalah pendidikan dan peranannya dalam menc
iptakan pembangunan